Langsung ke konten utama

Nativisme dan Empirisme Dalam Islam






Nativisme dan Empirisme Dalam Kacamata Islam


‘Alaa lan tanaalul ilma illa bisittatin, saunbiika ana tafsilihaa bibayaanin: dzakain, wa hirshin, washtibarin, wabulghotin, wairsyadilustadzi wathuulizzaman’
Ali RA

‘Ingatlah kita tidak akan bisa mendapatkan ilmu kecuali dengan enam syarat: (1) Kecedasan, (2) Kesungguhan, (3) Kesabaran, (4) Bekal, (5) Keberadaan Seorang Guru dan (6) Waktu yang cukup’
Kata-kata mutiara Ali RA

           
            Dalam banyak literatur pendidikan perbincangan tentang teori pembelajaran disebukan dua kutub besar aliran pemikiran. Kutub satu mengatakan bahwa pembelajaran akan sangat dipengaruhi oleh bawaan dasar seorang anak sejak lahir, dengan nama teori nativisme. Kutub satunya mengatakan bahwa pendidikan itu akan berhasil atas peran aspek di luar potensi dasar seorang anak yang ada sejak lahir, yakni peran lingkungan dengan teorinya bernama empirisme.
            Perdebatan dua kutub ekstrim ini akhirnya disatukan oleh beberapa pakar dengan menyebutkan ‘teori penggabungan’ antara teori nativisme dan empirisme yang kemudian dinamakan konvergensi. Teori konvergensi menegaskan potensi dasar anak didik tidak bisa diremehkan, karena itu akan menjadi panduan kemana bakat dasarnya harus digerakkan. Tapi, potensi dasar ini tidak akan berkembang secara sempurna tanpa peran di luar diri anak didik, baik itu tenaga pengajar atau lingkungan lebih luas lagi. Penggabungan potensi dasar dan peran lingkungan inilah yang pada gilirannya akan melahirkan out pendidikan.
            Memperhatikan kata-kata mutiara Sayyidina Ali RA di atas, Islam melihat potensi dasar dan pengaruh lingkungan menjadi perkawinan konseptual yang tidak bisa dibantah. Pasalnya, kecerdasan memang ditempatkan sebagai syarat pertama, tapi jika dirunut ke point selanjutnya nampak sekali Sayyidina Ali RA lebih setuju untuk mengerek potensi dasar itu dengan peran di luar anak diri; terutama peran soerang guru dan waktu belajar yang cukup.
Nativisme
Kata nativisme berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti terlahir (Idris, 1987:31). Dalam wikipedia bahasa Indonesia (wikipedia.org), dijelaskan bahwa nativisme adalah aliran pendidikan yang berpandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Dalam ilmu kebahasaan aliran nativis, Douglas Brow (Brow, 2008:30) mengungkapkan bahwa istilah nativis diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri manusia.
Teori nativis dalam penerimaan bahasa pertama yang diungkapkan oleh Douglas Brow ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan teori nativisme dalam pendidikan yang dipelopori oleh filosof Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860). Arthur Schopenhauer (Blog Swandika 2011) beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar ataupun pendidikan.
Dengan tegas Arthur Schaupenhaur (Blog Swandika 2011) menyatakan yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik. Pandangan ini sebagai lawan dari aliran empirisme atau optimisme yaitu pendidikan pesimisme memberikan dasar bahwa suatu keberhasilan ditentukan oleh faktor pendidikan, ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Schaupenhaur (Idris, 1987:31) juga berpendapat bahwa mendidik ialah membiarkan seseorang bertumbuh berdasarkan pembawaannya.
Pengetahuan seseorang sepenuhnya dipengaruhi oleh pembawaan lahir dan gen yang diturunkan oleh kedua orang tua. Pendidikan yang diberikan haruslah disesuaikan dengan bakat dan pembawaan anak didik itu sendiri. Teori ini percaya bahwa lingkungan pendidikan maupun lingkungan sekitar yang telah direkayasa oleh orang dewasa tidak akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang pengetahuan manusia. Dengan kata lain aliran ini menekankan bahwa pemerolehan pengetahuan manusia hanya berasal dari dalam (internal).
Pembawaan lahir itu ada yang baik ada pula yang buruk. Manusia tumbuh dan berkembang membawa segala hal yang telah ia bawa sejak lahir. Dan apa yang mereka bawa tersebut, akan berkembang sesuai arahnya masing-masing. Sedangkan pendidikan tidak akan mempengaruhi apa-apa.
Empirisme
Kata empirisme berasal dari bahasa latin empericus yang memiliki arti pengalaman (Idris, 1987: 30). Kemudian, John Lock seorang filsuf dari Inggris (Purwanto, 2000: 16) berpandangan bahwa empirisme, adalah aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui indra. Selain itu, dalam bukunya yang berjudul Essay Concerning Human Understanding, ia mengatakan bahwa tak ada sesuatu dalam jiwa, yang sebelumnya tak ada dalam indera.
Dengan kata lain: Tak ada sesuatu dalam jiwa, tanpa melalui indra (Soejono, 1987: 19). Pendapat ini sebetulnya telah jauh dikemukakan oleh Plato (Husaini et. al., 2013: 4) yang menyatakan bahwa ada dua cara untuk mengajarkan atau mengenalkan pengetahuan; pertama pengenalan indrawi (empiris) dan yang kedua adalah pengenalan melalui akal (rasional).
John Lock (Purwanto, 2000: 16) sebagai tokoh utama dari aliran ini, mengatakan bahwa anak yang lahir ke dunia dapat diumpamakan seperti kertas putih yang kosong dan yang belum ditulisi, atau lebih dikenal dengan istilah teori tabulara (a sheet of white paper avoid of all characters). Menurut aliran ini anak-anak yang lahir ke dunia tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa seperti kertas putih yang polos. Oleh karena itu anak-anak dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orang dewasa yang memberikan warna pendidikannya.
Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan rangsangan dari luar dalam perkembangan manusia. Aliran ini mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan anak yang dibawa semenjak lahir tidak dianggap penting. Selain itu, Aliran ini juga berpandangan bahwa perkembangan seseorang tergantung seratus persen kepada pengaruh lingkungan atau kepada pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya (Idris, 1987: 30).
Jadi, aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan bersumber utama dari pengalaman yang masuk melalui indera dan pengaruh eksternal dalam kehidupan, baik dalam keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat, sedangkan pembawaan lahir tidaklah dianggap penting sebagai faktor penentu pengetahuan. Segala sesuatu yang tidak masuk atau dirasakan melalui indera, boleh jadi mereka katakan tidak benar-benar ada. Oleh karena itu, aliran ini juga sering dikatakan menolak keberadaan Tuhan dan benda-benda yang bersifat metafisika. Aliran ini juga melahirkan sekularisasi dalam pendidikan.
Dalam kehidupan kehidupan sehari-hari, banyak sekali contoh yang berkaitan dengan empirisme. Salah satu contoh nya seperti bagaimana kita mengetahui bahwa api itu panas? Seorang empirisme akan berpandangan bahwa api itu panas karena memang dia mengalaminya sendiri dengan menyentuh api tersebut dan memperoleh pengalaman yang kita sebut ‘panas’. Bagaimana kita tahu bentuk rupa jerapah? Tentu kita akan baru benar-benar tahu setelah melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Atau bagaimana kita mengetahui bahwa bunga melati itu wangi? Kita akan tahu pasti setelah mencium baunya. Pengetahuan-pengetahuan melalui indera tersebut akan disimpan dalam memori otak kita, dan dapat dikeluarkan pada saat dibutuhkan. Dengan kata lain, dengan menggunakan alat inderawi, kita akan memperoleh pengalaman yang menjadi pengetahuan kita kelak.
Konvergensi
Konvergensi berasal dari bahasa Inggris dari kata convergenry, artinya pertemuan pada satu titik. Zahara Idris (1987:33) mengatakan bahwa aliran ini mempertemukan atau mengawinkan dua aliran yang berlawanan di atas antara nativisme dan empirisme. Perkembangan seseorang tergantung kepada pembawaan dan lingkungannya.
Dengan kata lain pembawaan dan lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang. Pembawaan seseorang baru berkembang karena pengaruh lingkungan. Hendaknya pendidik dapat menciptakan lingkungan yang tepat dan cukup kaya atau beraneka ragam, agar pembawaan dapat berkembang semaksimal mungkin.
Menurut William Stern (Purwanto, 2000:60) ahli ilmu jiwa sekaligus pelopor aliran konvergensi berbangsa Jerman ini mengatakan bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia.
Namun Ngalim Purwanto mengatakan dalam bukunya tentang pendapat W.Stern itu belum selesai. Dalam aliran ini terdapat dua aliran, yaitu aliran yang dalam hukum konvergensi ini lebih menekankan kepada pengaruh pembawaan daripada pengaruh lingkungan, dan di pihak lain mereka yang lebih menekankan pengaruh lingkungan atau pendidikan, sehingga belum tepat kiranya hal itu diperuntukkan bagi perkembangan manusia.
Maka dari itu Ngalim Purwanto (2000:61) memberikan saran dengan jelas kepada pendidik dalam mencari jalan untuk mengetahui pembawaan seseorang dan kemudian mengusahakan lingkungan atau pendidikan yang baik dan sesuai. Perkembangan manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan lingkungannya melainkan manusia harus diperkembangkan dan memperkembangkannya.

Pendidikan Islam
قال النبي صلى الله عليه و سلم ( كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Kullu mauludin yuuladu ‘alalfitroh faabawaahu yuhawwidanihi au yunashshironihi au yumajjisaani.
“Setiap manusia dilahirkan suci (fitroh), maka orang tua yang pada akhirnya akan menjadikan anak itu menjadi yahudi, nasrani, majusi (penyembah matahari, penulis)” Riwayat Bukhori Muslim.
Secara kasat mata, hadits ini menegaskan peran penting di luar fitrah, yaitu lingkungan dalam membentuk postur kecerdasan anak didik. Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat dengan petunjuk hadits di atas  masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
Hadits di atas menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembangkan fitrah ini, maka pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting peranannya.
Pengertian fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang beraspek hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pula tabiat atau watak dan kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan eksternal, sekalipun tidak aktif (M. Arifin, 1994:94)  Walaupun demikian al-Qur’an dan al-Hadits tidak dapat dikatakan sebagai sumber Ilmu Pendidikan yang berpaham empiris.

Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” QS Al-Insan ayat 3

Fitrahnya manusia menurut QS Alinsan ayat 3 diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang salah. Kemampuan memilih tersebut mendapatkan pengarahan dalam proses pendidikan yang mempengaruhinya. Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat didalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada kemampuan berpikir sehat (berakal sehat). Dengan demikian berpikir benar dan sehat adalah merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Dalam pengertian ini pendidikan Islam berproses secara konvergensis, yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam pendidikan Islam (M. Arifin, 1994:96).
Dalam Islam kemana kata Muis Sad Imam (2004:28) kepribadian itu harus dibentuk dan dikembangkan sudah jelas yaitu ma’rifatullah dan bertakwa kepada Allah sedang dalam pendidikan konvergensi yang berdasarkan antroposentris pembentukan dan pengembangan kepribadian diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup di dunia.
Ansharulloh (2011:70) menegaskan otak yang bekerja secara kratif, akan merubah fungsi otak tersebut satu tingkat lebih di atas rata-rata. Artinya, bakat pada mulaya merupakan sebuah potensi saja, namun kemudian dapat menjadi kecerdasan, pada tingkat yang lebih tinggi jika mendapatkan rangsangan dan latihan yang baik selama mengalami masa perkembangannya.
Fitrah dalam amatan Ansharullah (2011:71) adalah setiap anak manusia yang lahir ke dunia membaswa bakat, sebagai faktor genetis, yang diwariskanya dari kedua orang tuanya. Fitrah itu pula yang sering dikatakan dalam pribahas kita dengan kalimat “Air cucuran jatuh di pelimpahan juga”, bahwa bakat seorang ayah akan turun kepada anaknya. Ini dimiliki oleh setiap masing-masing berbeda-beda.
Fitrah adalah faktor internal (bawaan) akan berinteraksi dengan faktor  eksternal (lingkungan) hingga berpengaruh dalam pendidikan, yaitu pembentukan kepribadian muslim yang berkualitas. Dalam Islam yang terpenting adanya hidayah dari Allah sebagai penentu keberhasilan dalam pendidikan
Penutup
Pendidikan Islam secara tegas menentukan fitrah adalah kondisi faktual seorang anak dilahirkan di muka bumi. Dalam teks hadis dinyatakan bahwa fitrah itu akan dipengaruhi oleh peran kedua orang tuanya, yang dalam pandangan dari kata-kata mutiah Ali RA, dikembangkan dengan peran personal; sungguh-sungguh, sabar, bekal dari orang tua, guru dan butuh waktu tertentu. Kami melihat Islam menerima kedua aliran itu sebagai fakta potensi memanjukan pembelajaran seorang anak diri. Islam lebih condong pada teori konvergensi tapi dengan penekanan hidayah Allah menjadi sumber spiritual yang menjadi penentu keberhasilan terakhir disamping usaha ikhtiar manusia



DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya; Departeman Agama, 2011
Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1994.
Brow, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat
Daradjat, Zakiah, et all. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Akrasa kerjasama dengan Depag,
Ansharullah, Dr. Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak-Multiple Intelligences, Step : Jakarta, 2011, Cet ke-2.
Husaini, Adian at. al.. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Depok:       Gema Insani.
Idris, Zahara. 1987. Dasar-dasar Kependidikan. Padang: Angkasa Raya Padang
Iman, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan progresivisme John Dewey. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2004.
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT   Remaja Rosdakarya Offset.
Soejono, Ag. 1987. Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1. Bandung: C.V.    Ilmu.
Swandika, Agung. 2011. Aliran Nativisme. Diunduh pada 17 Oktober 2015 pukul 11:15. Didapatkan dari http://agungswandika.blogspot.com/ 2011/aliran–    nativisme.html.
Wikipedia.org



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Instrumen Tes dan Non Tes, Revolusi 4.0 dan peran Teknologi Pendidikan

Tugas   Penilaian Tengah Semester Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Dosen Pengampu: DR. Dirgantara Wicaksono , M. Pd Istrumen Tes dan Non Tes DISUSUSN OLEH : ERFI FITRI SUSARI NIM : 2016860012 Program Magister Teknologi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta Tahun 2018 Evaluasi & Assesmen Pendidikan: IntrumenTes & Nontes BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum yang dimaksud dengan instrumen adalah suatu alat yang memenuhi persyaratan akademis, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur suatu objek ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu variable. Dalam bidang penelitian, instrumen diartikan sebagai alat untuk mengumpulkan data mengenai variabel-variabel penelitian untuk kebutuhan penelitian, sedangkan dalam bidang pendidikan instrumen digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa, faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan atau berpengaruh terhadap hasil belajar

MEDIA DALAM PENGEMBANGAN KOGNITIF

ABSTRAKSI Media dalam pengembangan kognitif merupakan satu konsep yang berisi tentang pemanfaatan media dalam mengembangkan kognitif ketika melakukan proses pembelajaran. Dalam tulisan ini, akan dibahas turunan “media dalam pengembangan kognitif” berupa; tujuan dan fungsi, karakteristik, syarat-syarat dan macam-macamnya. Deskripsi empat turunan itu akan melahirkan pemahaman yang memadai untuk menjelaskan posisi sekaligus kekuatan media dalam mengembangkan potensi kognitif anak didik. Selain itu akan memudahkan eksperimentasi di lapangan, karena keberadaan media akan dipandu mengarah pada tujuan pengembangan kognitif. Dari tulisan ini diharapkan lahir sikap kehati-hatian dalam memilih media yang tepat dalam mengembengkan kognitif anak didik. Sekaligus menghindarkan para pendidik dari menggunakan media yang keliru bahkan salah media hingga menghambat pengembangan kognitif yang diinginkan.  Kata kunci : Media, Pengembangan Kognitif Pendahuluan Dalam buku “Pengambangan Kognit