Sifat-sifat Allah swt yang sering kita kenal dengan istilah Asmaul Husan (nama-nama yang baik) sangat menarik untuk dikaitkan dengan potensi kecerdasan pada manusia. Nama-nama "Al-Hamid, Al-Matin dan Al'adzim" dalam makalah ini akan diurai secara memadai untuk kemudian coba dikaitkan dengan multiple intelligences.
Multiple intelligences sendiri adalah teori yang menyatakan bahwa
kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan
pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah
terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa
(Gardner, 2003).
Setiap orang mempunyai cara yang
unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya
dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang, tapi kemampuan yang dimiliki
oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut
atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Alhamid (Maha Terpuji)
Salah satu nama Allah adalah
Al-Hamiid (الْحَمِيدُ), yakni Yang Maha terpuji. Nama ini tersebut dalam
Alqur’an:
“Wahai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah swt) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan darinya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Al-Baqarah: 267).
Sehingga maknanya adalah (Yang Terpuji) yang berhak atas segala pujian yang
telah terjadi ataupun yang diperkirakan akan terjadi. Maka, seluruh bagian dari
pujian yang terwujud atau yang ditakdirkan nanti akan terwujud, semua itu tetap
bagi Allah swt. Allah swt berhak terhadapnya, dengan sebab sifat-sifat
kesempurnaan, keagungan, dan keindahan yang Dia miliki. Oleh karena itu,
pendapat yang kuat bahwa alif dan lam dalam kata Al-Hamid itu berfungsi untuk
istighraq (mencakup) seluruh bagian pujian.
Seperti
dikutip oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc, (http://www.asysyariah.com:2016) bahwa Ibnul
Qayyim menyebutkan bahwa Al-Hamiid memiliki dua makna:
Pertama:
Seluruh makhluk mengucapkan pujian terhadap-Nya, maka segala pujian yang
terwujud dari seluruh penduduk langit-langit dan bumi, yang awal maupun yang
akhir dari mereka, serta semua pujian yang terjadi dari mereka di dunia dan
akhirat, juga semua pujian yang belum terwujud dari mereka bahkan yang masih
dalam pengandaian, demikian pula yang tersembunyi, selama berlangsungnya zaman
dan berjalannya waktu; dengan pujian yang memenuhi alam-alam seluruhnya baik
yang atas maupun bawah dan memenuhi yang semacam alam itu tanpa hitungan, maka
sesungguhnya Allah swt berhak terhadapnya dari banyak sisi.
Kedua: Allah
swt terpuji karena apa yang Dia miliki berupa Al-Asma’ul Husna dan sifat-sifat
yang sempurna nan tinggi, segala hal yang terpuji serta sifat yang indah dan
agung. Milik-Nyalah seluruh sifat kesempurnaan. Sifat-sifat yang Ia miliki
berada pada puncak kesempurnaan dan kebesaran. Sehingga dalam setiap sifat dari
sifat-sifat-Nya, Ia berhak dipuji dengan pujian yang sempurna dan sanjungan
yang sempurna.
Buah mengimani
Alhamid adalah kita mengetahui kemuliaan sifat-sifat Allah swt. dan keindahan
perbuatan-perbuatan-Nya, di mana semua sifat dan perbuatan-Nya berhak untuk
dipuji. Sehingga pantaslah kalau segala puji itu milik-Nya. Maka hendaknya kita
selalu berbaik sangka kepada-Nya atas segala ketetapan-Nya
Al-matin (Maha Kokoh)
Alqur’an menjelaskan :
Sesungguhnya Allâh, Dialah Maha Pemberi rezki, Yang Maha
Mempunyai Kekuatan lagi Maha Kokoh [adz-Dzâriyât/51:58]
Menurut Abdullah bin Taslim
al-Buthoni MA dalam web site https://almanhaj.or.id/3451-al-matiin-yang-maha-kokoh.html,
makna “Almatin” adalah Yang Maha sangat kuat, sedangkan “al-Qawiy” adalah Yang
tidak ada sesuatupun yang mampu menundukkan dan mengalahkan-Nya, serta menolak
ketentuan-Nya. Dia (Maha Mampu) memberlakukan perintah dan ketentuan-Nya
kepada semua makhluk-Nya (tanpa ada satupun yang mampu menghalangi).
Dia mampu memuliakan siapapun
yang dikehendaki-Nya dan mampu menjadikan hina siapapun yang dikehendaki-Nya.
Allâh Azza wa Jalla mampu menolong siapa yang dikehendaki-Nya serta tidak
menolong siapa yang dikehendaki-Nya.
Segala (daya dan) kekuatan hanya
milik Allâh Azza wa Jalla, tidak akan ada orang yang mendapatkan kemenangan
kecuali orang yang ditolong-Nya serta tidak akan ada yang mendapatkan kemuliaan
kecuali orang yang dimuliakan-Nya. Keimanan yang benar terhadap nama Allâh Yang
Maha Agung ini akan membuahkan dalam hati seorang hamba perasaan tunduk,
merendahkan diri, takut dan selalu bersandar kepada Allâh Jalla Jalaluhu
semata, serta selalu bertawakal (berserah diri), taat, memasrahkan segala
urusan dan berlepas diri dari (segala) daya dan kekuatan kecuali dengan
(pertolongan)-Nya.
Oleh karena itulah, kalimat zikir
“LAA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan pertolongan-Nya) kedudukannya dalam Islam sangat agung, serta memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam menumbuhkan serta menyuburkan keimanan dalam
hati seorang hamba.
Al-adzim (Maha Agung)
Alqur’an mewartakan bahwa:
"... dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung." (QS. Al-Baqarah/2: 255)
Allah swt Yang
Maha Agung, milik-Nya semua sifat dan makna yang mengharuskan
keagungan-Nya. Tidak ada makhluk yang bisa memuji-Nya sebagaimana mestinya dan
tidak ada yang mampu menghabiskan pujian kepada Nya. Bahkan, Dia memuji
diri-Nya dan melebihi segala pujian yang diberikan hamba-Nya. Ketahuilah bahwa
segala makna kebesaran yang hanya tetap bagi Allah swt ada dua bagian:
Bagian pertama:
Bahwa Dia bersifat dengan segala sifat kesempurnaan. Milik-Nya kesempurnaan
yang paling sempurna, yang paling besar, dan yang paling luas. Bagi-Nya ilmu
yang meliputi (segala sesuatu), kekuasaan yang terlaksana, serta keagungan dan
kebesaran.
Bagian kedua:
Sebagian dari makna kebesaran-Nya, bahwasanya tidak ada seorang makhluk pun
yang berhak dibesarkan sebagaimana Allah swt dibesarkan. Sudah
menjadi hak Allah agar semua hamba membesarkan-Nya dengan hati, lidah, dan
anggota tubuh mereka. Yaitu, dengan bersungguh-sungguh dalam mengenal-Nya,
mencintai Nya, menghinakan diri kepada-Nya, inkisar (lemah) dihadapan-Nya,
tunduk bagi kebesaran-Nya, takut kepada-Nya, menggunakan lisan untuk
memuji-Nya, dan menggunakan anggota tubuh untuk bersyukur dan beribadah
kepada-Nya.
Termasuk
membesarkan-Nya adalah Dia ditakuti (dengan sikap takwa) dengan sebenar-benar
takwa kepada-Nya. Dia ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan,
serta disyukuri dan tidak dikufuri. Di antara bentuk membesarkan-Nya adalah
membesarkan segala yang diharamkan-Nya (dengan meninggalkannya), yang
disyari'atkan-Nya (dengan mengamalkannya) pada setiap waktu, tempat, dan setiap
aktivitas.
Kecerdasan Tasauf
Makna asmaul husna di atas tidak ditemukan secara tegas dalam teori multiple
intelligencis (Gardner, 2003) yang terdiri dari delapan kecerdasan
yakni; 1-bahasa, 2-logis-matematis, 3-raga dan atau fisik, 4-interpersonal,
5-intrapersonal, 6-spatial/ruang mikro-makro, 7-musik/musik dan 8-naturalis.
Karenanya, Dr. Ansharullah, M.Ag (2011), melihat kecerdasan ala Gardner tidak
mengandung relasi yang mengatur antara manusia dengan sesuatu kekuatan yang
diyakini, dipatuhi atau dicintai.
Penulis menemukan relevansi makna asmaul husna di atas dengan apa yang diyakini
Ansharullah (2013), dalam tradisi Islam yang kompleks ditemukan satu dimensi
kecerdasan di luar temuan Gardener (2003) yaitu hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Ansharullah (2013) menyebutkannya dengan kecerdasan tasauf (Sufism
Intellegence) dengan Tuhan sebagai puncak tertinggi keyakinan manusia
yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam model berbeda diyakini akan kehadiran ‘jejek Tuhan’ dalam otak
manusia (Taufik Pasiak:2004). Muhtar Sadili (2004) melihatnya, otak
manusia merupakan substrak kehadiran Tuhan. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa
kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan dan merupakan fitrah (bawaan)
manusia sejak awal kejadiannya.
Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah swt.) (Tetaplah atas) fitrah Allah swt. yang
telah_ menciptakan manusia menurut, fitrah itu. Tiada. Perubahan pada fitrah
Allah swt. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (QS. Ar-Rum/30: 30).
Ditemukan pula pada Einstein sebagai penemu
teori relativitas pernah mengakui wujud sebuah entitas Tuhan yang maha mengatur
perjalanan jagat raya ini. Tidak hanya itu, Einstein juga mengakui ilmu
kealaman yang dikuasainya merupakan sisa-sisa dari apa yang terhijab (tertutup)
di balik kekuasaan Tuhan (Muhtar Sadili : 2008).
Pengakuan
seperti ini tidak dapat dimaknai sekadar pantulan filsafat yang bertugas
mengawal arah dan tujuan ilmu pengetahuan (Ahmad Mahmud Sulaiman:2011).
Sebaliknya, merupakan bentuk lain dari dimensi keimanan. Dimensi ini,
dalam tradisi keberagamaan seseorang, dapat ditangkap sebagai elemen paling
dasar dan esensial, yakni pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Keyakinan
para ilmuwan itu, seperti 'akal ilahi' ala Ibnu Sina yang
dipersepsikan oleh para filosof ketika menjelaskan keterkaitan Tuhan dan manusia (Taufik:20014).
Filosof muslim telah meminjam konsep memancar (emanasi) dari filsafat Yunani
untuk menjelaskan hubungan-hubungan erat dalam proses penciptaan alam semesta. Dengan
akalnya, meski tanpa bantuan wahyu, manusia dapat tiba pada pengetahuan tentang
Tuhan. Karena akal manusia merupakan bagian dari 'akal ilahi', orang yang
mempunyai tingkat intelektual yang tinggi atau cerdas meniscayakan penemuan
Tuhan melalui akalnya.
Penutup
Relevansi asmaul husna tidak ditemukan pada teori kecerdasan ala Gardner, tapi pada kreatifitas Ansharullah yang merekomendasikan poin ke-9 dari multiple intellegencis temuan Gardner, yaitu kecerdasan tasauf. Yaitu kecerdasan yang bisa menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya. Dengan model lain dikatakan oleh Muhtar (2004) tentang otak sebagai substrak kehadiran Tuhan, setali tiga uang dengan penemuan Taufik (2004) akan kehadiran ‘jejak Tuhan’ dalam otak manusia.
Relevansi asmaul husna tidak ditemukan pada teori kecerdasan ala Gardner, tapi pada kreatifitas Ansharullah yang merekomendasikan poin ke-9 dari multiple intellegencis temuan Gardner, yaitu kecerdasan tasauf. Yaitu kecerdasan yang bisa menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya. Dengan model lain dikatakan oleh Muhtar (2004) tentang otak sebagai substrak kehadiran Tuhan, setali tiga uang dengan penemuan Taufik (2004) akan kehadiran ‘jejak Tuhan’ dalam otak manusia.
Alqur’an dan
Terjemahannya; Departeman Agama, 2011
Dr. Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak-Multiple Intelligences, Step : Jakarta,
2011, Cet ke-2.
Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan & Sain,
Serambi: Jakarta, 2001
Muhtar
Sadili, Otak Sebagai Substrak Kehadiran
Tuhan, Republika, 2004
___________,
Sikap Religius Para Ilmuan, Media
Indonesia, 2008
Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, Mizan:
Bandung, 2004, Cet, ke-4
Komentar
Posting Komentar